Pendidikan Hati

Pendidikan formal kian carut-marut. Pendidikan yang harusnya mengasah moral dan nilai kehidupan, tapi dalam tataran realita masih jauh dari asa. Tawuran antarmahasiswa, antarsiswa, pemukulan siswa oleh guru, pelecehan terhadap/oleh guru dan tindakan tidak terpuji lainnya membuktikan bahwa pendidikan telah melenceng dari tujuan mulianya.

Pemukulan oleh senior menyebabkan Cliff Muntu meninggalkan raga fananya di IPDN Jawa Barat. Teror psikologi oleh senior juga jamak kita dengar di kampus yang masih bersahabat dengan orientasi siswa dan pengenalan kampus (OSPEK) yang tidak bersahabat dengan mahasiswa baru. Caci maki, kata-kata jorok, hardikan/bentakan kadang muncul dengan maksud membuat takut junior dan tunduk pada seniornya. Penyuapan jawaban UN oleh guru di Medan (mungkin juga di daerah lain) menunjukan hati tumpul gontai, yang mungkin saja merupakan perlawanan bisu guru terhadap kebijakan Depdiknas yang tidak taat UU Sisdiknas (bidik UU No 20, pasal 58 dan 59 ayat 1) atau kesenjangan mutu sekolah Jawa dengan luar Jawa, kota dengan pelosok udik, desa/dusun.

Berjuta tanya terhadap dunia pendidikan formal kita, menunjukkan bahwa pendidikan perlu berbenah. Pemerintah sepertinya tuli dengan masukkan pakar dan praktisi pendidikan, punya mata tapi tidak melihat dan punya telinga tapi tak mendengar. Ada apa dengan pemerintahan kita, apakah mereka lebih berorientasi proyek tinibang taat asas? Lalu, apa yang dilakukan oleh keluarga dan terutama sekolah sebagai pembauran sosial menghadapi degradasi moral insan Indonesia? Kiat-kiat apa yang diupayakan untuk meninggikan moral insan-insan muda?

Pendidik utama dan terutama adalah ayah-ibu. Mereka secara alami mau/tidak, suka/tidak bertanggungjawab terhadap pendidikan titipan Tuhan tersebut. Rusak/tidaknya moral insan muda Indonesia merupakan tanggungjawab ayah-ibu, masyarakat, media massa, dan sekolah.

Orang tua juga dan bapak/ibu guru memiliki peran yang sama. Dani R (2005) dalam bukunya 'Pengajaran dengan Hati' mendaftarkan lima peran guru, yaitu a god's creature, a teacher, a guide, an education, dan an inspirer. Dengan multiperan ini guru bertugas membangun karakter bangsa, sehingga seharusnya guru taat terhadap pembangun karakter siswa.

Terdapat enam belas pilar pendidikan dengan hati berikut, yaitu kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk pengembangan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, memotivasi, mendengarkan, berinteraksi secara positif, menanamkan nilai-nilai moral, mengingatkan dengan ketulusan hati, menularkan antusiasme, menggali potensi diri, mengajar dengan kerendahan hati, menginspirasi, dan menghormati (Doni R, 2005).

Digelontorkan evaluasi akhir semisal Ebtanas, UAN, atau UN mengharuskan sekolah bagaikan bimbingan belajar. Kesuksesan di bangku sekolah tereduksi oleh makna lulus atau tidak UN. Kerja keras menjadi multitafsir, apa benar les tambahan, mengerjakan soal, merupakan bukti anak telah kerja keras?

Evaluasi pendidikan disadari/tidak terlalu pro otak kiri (left brain oriented), sehingga anak hanya cerdas kemampuan logisnya, tapi lemah emosinya, hatinya, dan polahnya. Akibatnya, tidak terjadi keseimbangan antara antara otak kanan dan kiri. Karena left brain oriented maka pendidikan formal menghasilkan 'manusia berkepala berat miring ke kiri'.

Otak kiri mengolah kemampuan logis, yaitu berhitung, menulis, analisis, berbicara, dan mendengarkan, sedangkan otak kanan mengasah kemampuan insting nurani, jiwa seni, imaginasi, dan ketrampilan musik.

Keseimbangan pembelajaran menyentuh otak kanan dan kiri ditambah dengan pengembangan kecerdasan emosional dan Spiritual, sehingga dihasilkan manusia yang cerdas IQ-nya dan lembut hati, rasa dan meninggikan nilai-nilai kehidupan.

Manajemen pendidikan hati taat pada lima asas, yaitu pertama, edifikasi ajaran moral. Baik guru, orang tua, saudara/i, tetangga harus mengedifikasi tindakan bermoral dan bermartabat. Edifikasi mora

0 komentar: